Sabtu, 30 Mei 2009

Memperbaharui Akhlaq untuk Mewujudkan Tatanan Kehidupan yang Harmonis

اَلْحَمْدُ للهِ بِذِكْرِهِ تَطْمِئِنُّ الْقُلُوْبَ وَبِفَضْلِهِ تَغْفِرُ الذُّنُوْبَ. أشْهَدُ أنْ لا اِلهَ إلاّ اللهُ الْخاَلِقُ المَعْبُوْدُ وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ الصَّارِفُ الْمَوْعُوْدُ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلامُهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أهْل التَّقْوَى وَالْمَعْرِفَةِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الْمَبْعُوْثِ. أمَّا بَعْدُ. فَيَا أيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT

Pada kesempatan khutbah yang berbahagia ini, khatib mengajak para jamaah sekalian untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan selalu mendekatkan diri kepada-Nya, melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Jika kita memikirkan bagaimana dan berapa banyak nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita, niscaya kita tidak akan sanggup menghitungnya. Maka sudah sepantasnya kita mengucakan kalimat syukur dengan ikhlas hati kepada-Nya. Jangan sampai kita dicap Allah SWT sebaga hamba-Nya yang tidak tahu terima kasih. Shalawat dan salam tetap kita tunjukkan kepada Rasulullah SAW dan kelaurganya beserta para sahabatnya. Dalam hal ini kita patut mencontoh kegigihan Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam memperjuangkan Islam.

Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa krisis ekonomi yang melanda bangsa ini berawal dari krisis multi moral. Pada level struktural, mayoritas pejabat dan birokrat sudah tidak lagi amanah terhadap tanggungjawab sebagai pejabat publik. Mereka seenaknya datang ke kantor, disiplin menurun, keuangan banyak digunakan sekehendak hatinya, setiap aktifitas sulir dilepas dari KKN. Begitu pula dalam level kultural. Kejahatan terjadi di mana-mana: pencurian, perampokan, perjudian, pelacuran, pemerkosaan, dan penggunaan obat-obatan terlarang terjadi di mana-mana.

Jika kita bercermin pada sejarah bangsa-bangsa terdahulu, tampak jelas bahwa kebinasaan atau kehancuran suatu kaum, disebabkan rendahnya moral. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan aturan-aturan agama. Apa yang mesti mereka lakukan, mereka tinggalkan, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
وَكَم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَاءهَا بَأْسُنَا بَيَاتاً أَوْ هُمْ قَآئِلُونَ

Betapa banyaknya negeri yang telah kami binasakan. Maka datanglah siksaan kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari atau di waktu mereka beristirahat di tengan hari. (QS Al-A'raf: 4)
أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وِأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَـكِن كَانُواْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Belum datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah. Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata. Maka Allah tak akan sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS At-Taubah: 70)

Penyebab utama kehancuran negeri adalah penolakan terhadap dakwah para Nabi. Mereka tidak hanya menolak seruannya, tetapi juga memusuhi bahkan berusaha membunuh ppara utusan Tuhan itu. Tentu saja para Nabi menghadapi cobaan berat. Nyawanya dipertaruhkan untuk kelangsungan perjuangan dakwah. Namun Allah Swt memiliki kehendak sendiri. Mereka yang bertindak melewati batas, dihancurkan. Jika Tuhan berkehendak membinasakan suatu kaum, maka tidak ada serangpun yang bisa menolaknya.

Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT

Sebaliknya, keberkahan dan kemakmuran suatu negeri hanya akan tumbuh pada bangsa di mana penduduknya beriman dan bertaqwa. Tatanan sosialnya dihiasi dengan solidaritas, toleransi, saling menghargai, tidak saling mencurigai, tidak saling memfitnah dan saling mengingatkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT Mereka hidup dalam suasana yang aman, damai dan penuh semangat,kekeluargaan. Allah Swt, menjanjikan dalam Firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannva. (QS Al-A'raf: 96)

Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, baik burukya moral masyarakat sangat tergantung atau tidak akan lepas dari moral para pemimpinnya. Pemimpin menjadi simbol dan gambaran umum mentalitas dan moralitas masyarakat. Bahkan terdapat kaitan erat antara mereka yang memimpin dengan yang dipimpin. Masyarakat yang baik-baik, tentu saja akan memilih pemimpin yang baik pula. Begitu pula sebaliknya. Masyarakat yang rendah moralitasnya, kecil kemungkinan memilih pemimpin yang baik.

Menjadi seorang pemimpin, berarti menjadi seorang yang menghadapi dunia nyata, atau seorang yang selalu menghendaki perubahan dan memiliki visi pembangunan dan memberdayakan setiap komponen yang dipimpinnya. Kekuatan memimpin terhadap apa saja yang dilihat, didengar, dirasa dan diketahuinya dari semua yang ada disekitarnya.

Rasulullah SAW bukan hanya seorang utusan Allah SWT yang membawa pesan dan wahyu dari Sang Penguasajagad raya, namun beliau juga seorang manusia pilihan yang disegani oleh masyarakat sekitarnya dan seorang yang memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi. Kesedihan dan penderitaan orang-orang yang di sekitarnya yang dipimpin adalah kesedihan dan penderitaanya pula. Semua menjadi teladan bagi kita dan setiap pemimpin di mana saja dia berada.

Kepekaan yang tinggi dari setiap pemimpin itu akan menjadi stimulator kesuksesan menghadapi segala permasalahan yang muncul. Setiap pergerakan dan tingkah laku yang dibuatnya akan menjadi motor dari setiap arah kesuksesan seorang pemimpin. Oleh karena itu dalam setiap memilih pemimpin, agar memilih pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan yang bagus dan berakhlak seperti yang diontohkan oleh Nabi Nuhammad SAW

Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT

Pemimpin yang jujur terhadap dirinya sendiri dan selalu menjadikan setiap langkahnya sebagai bagian dari ibadah dan amal yang membekalinya kelak, akan mendapat jalan dari langkahnya. Karena Allah SWT selalu membimbing para pemimpin yang jujur dan amanah dengan tanggung jawabnya.

Namun sulit rasanya mendapatkan pemimpin yang meneladani pola kepemimpinan Rasulullah SAW, memiliki tanggung jawab moral, kesederhanaan, dan kepekaan sosial menjadi akhlak pribadi pada pemimpin. Yang ada justru pengkhianatan, kemewahan dan keserakahan. Akibat yang ditimbulkan adalah krisis dalam berbagai dimensi kehidupan. Ini sebagai akibat rendahnya mental dan moral, baik para petinggi negara maupun masyarakat.

Para penguasa memang cenderung dzalim, dan karena itu pula banyak posisi tertinggi dalam suatu organisasi harus ditempuh dengan berbagai cara. Tujuan menghalalkan segala cara yang dicetuskan oleh Machiavelli dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan telah menjelma menjadi virus yang sulit diobati di tubuh bangsa ini, hal ini telah menghiasi dinamika sejarah kemanusiaan masyarakat Indonesia. Ketika kekuasaan mulai digoyang, segala cara dilakukan, meski mengorbankan banyak pihak, untuk melumpuhkan lawan-Iawan politik. Dalam konteks ini, idealisme hancur luluh di telan kepentingan.

Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT

Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme terjadi di berbagai instansi, pemerintahan maupun non pemerintahan. Partai-partai politik sulit melepaskan diri dari penyakit itu. LSM-LSM yang notabenenya adalah gerakan moral pun ikut terjangkit. Bagaimana jadinya, jika lembaga yang bertugas mengontrol dan mengkritik pemerintah justru terkena penyakit yang sama. Bagaimana ia bisa mendiagnosa dan memberikan terapi jika penyakitnya sarna. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan dan membutuhkan penanganan yang cepat.

Jika dekadensi moral masyarakat sudah sampai pada titik yang paling rendah, maka segala akibatnya akan dirasakan sendiri oleh kaum tersebut. Segala akibat buruk karena ulah segelintir orang, dampaknya akan dirasakan masyarakat secara luas. Orang yang tidak berdosa pun ikut menanggung derita. Musibah yang terjadi tidak pandang bulu, tidak memilah-milah mana yang salah mana yang tidak. Orang yang merusak hutan dengan menebang kayu secara liar atau sengaja membakamya untuk suatu proyek besar, yang mungkin hanya satu atau beberapa orang saja. Namun, dampaknya akan terjadi banjir dan erosi atau tanah longsor dirasakan bersama. Korban harta dan jiwa tidak terelakan serta fasilitas-fasilitas umum ikut terganggu. Allah SWT berfirman:
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (QS Hud: 102)

Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT

Sadar atau tidak, semua akibat yang menimbulkan penderitaan bersama itu karena ulah manusia yang serakah dan dzalim. Mereka mengekploitasi kekayaan nafsu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Apakah itu hak warga sekitar atau milik negara, mereka tidak menghiraukan lagi. Ulah manusia-manusia seperti itulah yang mengakibatkan datangnya azab dan bencana nasional. Dampak azab dan bencana itu mungkin tidak terasa oleh para pelakunya, akah tetapi yang menderita adalah rakyat miskin yang tidak berdosa. Kehidupan mereka semakin tertindas; "Sudah miskin, kena bencana lagi". lnilah yang harus diingat oleh orang-orang yang serakah megeksploitasi kekayaan alat untuk kepentingan sendiri. Bahkan Allah SWT berjanji tidak akan membinasakan suatu negeri bila penduduknya berbuat kebaikan. Allah SWT berfiman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS Hud: 117)

Oleh karena itu, sudah semestinya kita bercermin kepada bangsa-bangsa terdahulu mengenal sebab-akibat dari azab dan beneana Allah SWT mengingatkan agar kita mengambil pelajaran dari mereka. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثاً يُفْتَرَى وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran hagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf: 111).

Kaum muslimin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT

Demikian khutbah yang singkat ini, semoga kita senantiasa diberikan petunjuk oleh Allah SWT dalam mengarungi hidup ini.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Memetik Hikmah dibalik Musibah

الحَمْدُ ِللهِ الوَاحِدِ القَهَّارِ، الحَلِيْمِ الكَرِيْمِ السَّتَّارِ، المُنَزَّهِ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالشَّرِيْكِ وَالإِنْظَارِ. انْفَرَدَ بِالوَحْدَانِيَّةِ, وَتَقَدَّسَ فِي ذَاتِهِ العَلِيَّة, وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ. أَحْمَدُهُ حَمْدَ عَبْدٍ مُعْتَرِفٍ بِالذُّلِّ وَالإنْكِسَارِ. وَأَشْكُرُهُ شُكْرَ مَنْ صَرَّفَ جَوَارِحَهُ فِي طَاعَةِ رَبِّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تُنْجِي قَائِلُهَا مِنَ النَّارِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا النَّبِيُّ المُخْتَارُ وَعَلىَ آلِهِ وَأصْحَابِهِ اْلأطْهَارْ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهَ اْلكَرِيْمِ : وَلاَ تُفْسِدُوْا فِي اْلأرْضِ بَعْدَ إصْلاَحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إنَّ رَحْمَةَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ اْلمُحْسِنِيْنَ ، أمَّابَعْدُ : ياَأَيُّهاَ النَّاسُ اتَّقُوالله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوتُنَّ إِلاَّوَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hadirin Sidang Jumuah, yang dimuliakan Allah SWT.
Marilah kita bersama berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt, dalam arti meningkatkan kesungguhan kita untuk melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah SWT. Mudah-mudahan kita senantiasa termasuk golongan hamba yang mendapatkan petunjuk di jalan kebenaran.

Hadirin Rahimakumullah.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sekali musibah yang melanda negeri kita. Dari terjangan tsunami, amukan angin topan, banjir bandang, tanah longsor, hingga gempa bumi dan jebolnya tanggul-tanggul penahan air.

Alam seolah begitu murka dengan keserakahan umat manusia yang dengan rakus mengeksploitasinya tanpa henti. Setidaknya, dari beberapa peristiwa ini kita dapat memetik hikmah mengapa musibah selalu saja menimpa kita. Mungkin kita akan menemukan banyak sekali pendapat mengapa ini terjadi. Para ahli geologi, barangkali akan mengatakan, “Ini hanya peristiwa alam biasa.” Mungkin para dukun juga akan mengatakan, “kejadian-kejadian tersebut addalah penanda pergantian zaman.” Namun yang demikian adalah pendapat, sah-sah saja jika kita percaya, namun tidak wajib kita imani.

Hadirin yang dirahmati Allah
Terlepas dari segala kelakuan dan antisipasi manusia, dalam pandangan al-Qur’an, musibah-musibah adalah merupakan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Taqdir yang telah digariskan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubat ayat 51:

قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَاْليَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ

“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa, setiap peristiwa yang terjadi semuanya telah digariskan Allah. Dan hanya kepada Allah, kita berlindung.

Lalu mengapakah Allah menimpakan bencana kepada umat-Nya? Umat yang mengimani dan menyembah-Nya dalam ajaran yang benar dan hak? Mengapa bukan orang-orang kafir saja ditumpas dengan bencana? Jawabnya adalah, karena di balik setiap takdir, pastilah terdapat makna yang tersembunyi. Termasuk dalam beberapa musibah yang melanda kita. Dan bagi saudara-saudara kita yang tertimpa musibah namun masih hidup setidaknya dapat memetik hikmah atas apa yang menimpa mereka.

Mereka yang lolos dari bencana adalah orang-orang yang beruntung karena masih sempat ditegur oleh Allah SWT. Mereka yang lolos masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki kualitas ketaqwaan, keimanan dan hidupnya. Mereka masih sempat meminta ampunan kepada Allah SWT atas segala kesalahan serta berbuat kebajikan sepanjang sisa hidupnya untuk menghapuskan dosa.

Bencana menjadi teguran bagi mereka yang selamat, demikian pula bagi mereka yang berada jauh dari tempat kejadian. Orang-orang yang tidak terkena bencana, mendapatkan cobaan dari dampak bencana. Mereka yang sentosa berkewajiban menolong yang kepayahan. Mereka yang hidup berkewajiban menyelenggarakan jenazah bagi yang meninggal. Mereka yang masih memiliki banyak harta, berkewajiban memberikan makanan dan pakaian serta menolong dengan segenap kemampuan kepada mereka yang kehilangan segalanya. Memberi makan kepada mereka yang kelaparan, memberi pakaian kepada mereka yang telanjang dan memfasilitasi mereka yang kehilangan tempat tinggal.

Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan Akhirat; dan Allah selalu akan menolong hambanya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga bersabda :
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

“Hak seorang Muslim atas seorang Muslim yang lain ada enam.” Di antara para sahabat, Ada yang bertanya, ‘Apa saja ya Rasululllah?’ Beliau menjawab, ”Bila kamu berjumpa dengannya ucapkan salam, jika ia mengundangmu penuhilah, jika ia meminta nasihat kepadamu nasihatilah, jika ia bersin dan memuji Allah hendaknya kamu mendoakannya, dan jika ia sakit jenguklah, dan jika ia mati antarkanlah jenazahnya….” (HR Muslim)

Hadirin Sidang Jumuah yang Dimuliakan oleh Allah
Bencana adalah juga sebuah teguran dari Allah kepada orang-orang beriman, namun lalai menjalankan perintah-Nya. Peringatan dari allah ini sudah seringkali tampak melalui beberapa peristiwa serupa yang seringkali melanda negeri kita. Namun selalu saja kita belum bisa memperbaiki diri, sikap dan perbuatannya. Padahal beberapa musibah yang terjadi ini adalah akibat dari perbuatan dan ulah kita sendiri sebagai bangsa.

Jika alam di negeri kita rusak, siapakah yg merusaknya? Tentu adalah kita sendiri yang merusaknya. Bukan negara lain, karena takkan ada negeri lain dapat merusak negara kita kecuali kita sendiri yang mengijinkan mereka.

Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 41.
ظَهَرَ الفَسَادُ فِيْ الُبَرِّ وَاْلبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ اَّلذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan lepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)."

Adapun bagi kita semua, rentetan musibah yang terjadi hendaklah menjadi tadzkirah (pengingat) bahwa bencana memilukan tersebut dapat terjadi ditempat kita jika Allah SWT menghendaki. Seharusnyalah bagi kita untuk selalu berdo’a, bertaqarrub, dan beristighfar semoga Allah SWT selalu menganugerahkan keselamatan dan ampunan bagi kita semua.

Dan jika demikian, maka Allah memberi peringatan kepada kita supaya kembali ke jalan yang benar. Perbuatan manusialah yang selama ini banyak merusak ekosistem dan lingkungan. Manusia yang serakah, selalu mengeksploitasi alam dan banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Peringatan dari Allah yang berupa bencana menunjukkan bahwa Allah masih sayang kepada hamba-hamba-Nya dan menghendaki mereka untuk kembali ke jalan yang diridloi-Nya.

Karena, kerusakan alam selalu mengakibarkan kerugian bagi warha di sekelilingnya, terutama rakyat kecilnya. Karenanya, siapa yang lebih kuat harus melindungiu yang lemah. Siapa yang berkelonggaran harus menolong yang sedang dalam kesusahan dan siapa yang selamat harus bersedia menolong kepada saudaranya yang terkena musibah.

Mestinya kita takut jika tidak menolong, padahal kita mampu, mestinya kita malu kepad Allah jika tidak membantu saudara-saudara yang sedang kesusahan, apdahal kita sedang banyak memiliki kelonggaran. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لاَ يَهْتَمْ بِأُمُوْرِ اْلمُسْلِمِيْنَ

"Tidaklah termasuk golongan kita, mereka yang tidak peduli dengan persoalan-persoalan umat Islam."

Dengan demikian, maka umat akan persatuan dan kesatuan umat Islam akan semakin kokoh selepas berlalunya bencana, jika kita dapat menyadari bahwa selalu ada hikmah di balik setiap kejadian yang tampak mengerikan. Bencana merupakan ujiana bagi umat Islam, sudahkah mereka mencadi seperti penggambaran Rasulullah SAW?
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

"Orang Islam yang satu dengan yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan."

Maka akhirnya, marilah kita doakan semoga saudara-saudara kita yang telah dipanggil oleh Allah dalam bencana-bencana di negari ini adalah meninggal dalam keadaan syahid. Bagaimana pun juga salah satu tujuan Allah mewafatkan mereka dalam bencana adalah untuk mewafatkan mereka dalam kondisi mati syahid. Karena mereka yang meninggal dalam kondisi mati kejatuhan reruntuhan, tenggelam, terbakar, melahirkan, mati dalam merasakan sakit perut adalah masuk dalam kategori mati syahid, selama mereka mengalami naza’ (syakarotul maut) dengan tetap teguh memegang keimanan kepada Allah SAW. Amin Allahumma Amin
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْ


KHUTBAH IDIL FITRI
Memberi Tanpa Merendahkan
24/09/2008
اللهُ اَكْبَرْ (9×) اللهُ أكبرْ كَِِِبيْرَا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكبَرْ اللهُ أكبَرْ وَللهِ الحَمْدُ ، ألحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ ، أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وأصْحَابِهِ أجْمَعِيْنَ ، أمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْاللهَ حَقَّ تُقََاتِهِ وَلاَ تَمْوْتَُّن إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَِ ، وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كْتَابِهِ الْكَرِيْمِ : وَلَوْ أنَّ أهْلَ القُرَى أمَنُوْا وَاتَّقُوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضَ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Hadirin Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia
Pada pagi hari ini marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan beraneka karunia kepada kita sekalian. Anugerah berupa kesehatan, keimanan dan keislaman. Sungguh ketiga hal ini inilah yang menjadikan kita mampu mensyukuri nikmat di pagi yang indah ini dengan penuh hikmat.

Tanpa ketiganya, takkan mungkin kita dapat berkumpul di sini, bertemu muka dalam suasana penuh kebahagiaan dan kekeluargaan untuk merayakan kemenangan. Sungguh kita telah memenangkan ujian dari Allah pada bulan Ramadhan kemarin. Sungguhpun jika kita menangisi kepergian Ramadhan, namun kita tetap patut bersyukur, karena Ramadhan telah mengajarkan kita untuk mengerti dan turut merasakan setitik kesengsaraan para fuqoro dan masakin.

Saudara-saudara, Ramadhan kemarin telah mengajarkan kita untuk berbagi kebahagiaan dan dengan orang lain yang mungkin tidak seberuntung kita. Mereka yang untuk makan saja harus bersusah payah membanting tulang dan memeras keringat. Sehingga kita benar-benar merasa pilu manakala kemarin mendengarkan berita-berita yang menyayat. Hanya karena ingin mendapatkan sumbangan yang nilainya tidak seberapa bagi orang-orang kaya, ternyata mereka harus mempertaruhkan nyawa.

Kenyataan ini tentu saja menuntut kita untuk mengoreksi kembali kepedulian kita. Sudahkah selama ini kita memiliki kepedulian terhadap mereka? Jika sudah, maka pertanyaan selanjutnya adalah, cukupkah kepedulian kita selama ini untuk membantu meringankan beban hidup mereka? Jika sudah cukup, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah selama ini kita dapat meringankan beban mereka dengan ikhlas? Sampai di sini, hanya diri kita sendirilah yang dapat menjawabnya.

Ramadhan kemarin benar-benar memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Jika kita mengaku beriman dengan sebenarnya, maka kita pasti akan mengaca pada diri kita sendiri, sudahkan kita memiliki kepedulian tanpa menyengsarakan?

Betapa pun, jika keikhlasan hanya dapat kita rasakan sendiri, maka sebuah sikap tentu dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah selama ini kita dapat memberikan sedekah dengan cara-cara yang ”elegan”? Apakah cara kita memberikan sedekah tidak mengurangi harga diri mereka? Apakah setelah menerima sedekah, mereka masih memiliki sisa harga diri di hadapan kita?

Jika jawabnya adalah tidak, maka mestinya kita instrospeksi diri, benarkah Allah memerintahkan kita untuk besedekah, berzakat atau menolong orang hanyalah untuk membuatnya kehilangan jati diri? Ramadhan kemarin benar-benar perenungan nyata.

Mungkin beberapa cuplikan ayat berikut ini dapat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
إنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا اْلفُقَرَاءُ فََهُوََ خَيْرٌ لَكُمْ

”Jika kamu menampakkan sedekah, maka ini juga baik. Namun jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan adalah lebih baik bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2:271)

Ayat ini menunjukkan bahwa bersedekah tanpa membuat publikasi justru lebih baik daripada kita bersedekah dengan mengundang para wartawan. Meskipun seandainya sedekah yang kita berikan memang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.

Maka jika ramadhan kemarin kita benar-benar dapat menghayati makna puasa, tentu pada Idul Fitri sekarang ini dan pada hari-hari ke depan kita dapat memperbaiki sikap kita kepada orang lain. Kita dapat lebih menghargai para hamba Allah yang lain. Bukan karena misalnya kita lebih kaya, lalu kita berhak menghina orang lain. Bukan karena kita merasa lebih kuat, lalu kita dapat menindas orang lain. Dan seterusnya.

Hadirin Sekalian yang Berbahagia
Jika kita ingin kembali pada kesucian, maka kita semestinya mampu menjadikan momen- momen Ramadhan kemarin sebagai sebuah I’tibar atau pelajaran untuk menjalani kehidupan ke depan. Jika setelah Ramadhan kita dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik secara agama dibandingkan tahun lalu, maka inilah alamat keberkahan Ramadhan. Namun jika sebaliknya, setelah Ramadhan kita justru menjadi lebih buruk dibanding sebelum Ramadhan, maka berarti keberkahan Ramadhan tidak pernah menghampiri kita.

Setelah Idul Fitri ini, kita harus mampu memberikan sedekah dan berbagi kepada orang lain tanpa mengurangkan harga diri yang kita beri. Karena demikianlah Ramadhan kemarin mengajarkan pada kita. Kita harus mampu memberi tanpa membuat harga diri orang lain jatuh.

Dahulu Nabiyullah Sulaiman, seorang raja yang kaya raya bahkan pernah kedatangan tamu yang ingin memberikan sedekah. Lebih tepatnya untuk saat ini adalah upeti atau mungkin suap. Karena si pemberi sedang memiliki kebutuhan dengan sang Nabi Sulaiman. Ini artinya sang pemberi sedekah berada dalam posisi yang lebih rendah sementara sang penerima sedekah berada dalam posisi yang lebih tinggi.

Namun demikian, sikap dan cara penyampaian dapat menjadikan sang penerima, yang semula lebih tinggi dapat mengalami penurunan derajat. Firman Allah tentang cerita Nabi Sulaiman ini diabadikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Naml ayat 36.
فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانُ قََالَ أَتُمِدُّوْنَنِ بِمَالٍ فَمَا أتَنِ أللهُ خَيْرٌ مِمَّا أتَاكُمْ بَلْ أنْتُمْ لِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُوْنَ

Ketika serombongan utusan yang disertai berbagai macam hadiah telah sampai kepada Nabi Sulaiman, maka Sulaiman berkata, ”Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”

Pertanyaan Nabi Sulaiman semacam ini tentu saja membuat kecut perasaan para utusan tersebut. Utusan dari negeri seberang ini tersadar, seolah mereka dibuat malu karena dianggap mencoba menghinakan sekelompok kaum yang diperintah oleh seorang raja kaya dan bijak dengan rasa syukur yang teramat tinggi di hadapan Allah.

Dengan demikian upaya peremehan kepada Nabi Sulaiman beserta seluruh rakyat negerinya oleh para pembesar dari negara lain pun gagal total.

Kisah ini, sungguh memberikan ilustrasi perenungan yang teramat dalam kepada kita. Betapa semestinya kita tidak mudah dihinakan oleh mereka yang datang dengan membawa segepok sedekah yang belum tentu bermanfaat secara produktif kepada kita. Dan betapa semestinya jika kita memberi sedekah, janganlah sampai merendahkan orang-orang yang akan menerima sedekah kita.

Karena yakinlah, bahwa sedekah kita sama sekali tidak berarti dibandingkan karunia yang diberikan kepada kita oleh Allah. Seberapa pun berbagi, tidaklah perlu berpamer-pamer, apatah lagi sampai merasa bangga di hadapan Allah. Karena di sinilah terdapat jebakan syetan kepada para hamba.

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah SWT
Karena itulah, pada kesempaytan yang berbahagia ini, mari kita bersama-sama menginstropeksi diri kita masing-masing. Semoga setiap kesalahan yang pernah kita lakukan pada bulan-bulan lalu dapat kita tinggalkan dan semoga segenap kebaikan yang kita tingkatkan pada bulan Ramadhan kemarin dapat kita pertahankan. Dengan demikian maka kita sedang menaiki tangga insan kamil, tangga menuju kesempurnaan kemanusiaan di hadapan Allah SWT.

Meski Ramadhan telah meninggalkan kita, namun kita harus senantiasa mampu mengekang hawa nafsu yang membawa kita menuju kehinaan dalam hidup. Sebagaimana firman Allah :
وَمَا أُبَرِّئْ نَفْسِيْ إنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ
Aku tiada melepaskan Nafsuku, karena nafsu menyuruh pada keburukan. (QS. Yusuf : 53)

Jika nafsu dapat kita kendalikan, maka mestinya kita pun akan senantiasa menjadi manusia yang pemurah dan pemaaf. Sehingga kita dapat saling memaafkan di antara sesama anak manusia, di antara sesama umat Islam dan di antara sesama saudara dan tetangga. Karena demikianlah pesan penting dalam Idul Fitri, yakni saling memaafkan agak kehidupan manusia dapat kembali berjalan dengan normal dan penuh rasa kasih sayang di antara sesamanya.

Semoga dengan kita saling memaafkan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa kita sekalian, dosa-dosa yang terdahulu maupun dosa-dosa yang akan datang. Sehingga negeri ini dapat menjadi negeri dambaan yang senantiasa diberkahi Allah, kampung-kampung dan kota-kota dapat menjadi baldatun toyyobatun wa robbun ghofuur.Selamat Idul Fitri 1429 H.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Memberi Tanpa Merendahkan

اللهُ اَكْبَرْ (9×) اللهُ أكبرْ كَِِِبيْرَا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكبَرْ اللهُ أكبَرْ وَللهِ الحَمْدُ ، ألحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ ، أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وأصْحَابِهِ أجْمَعِيْنَ ، أمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْاللهَ حَقَّ تُقََاتِهِ وَلاَ تَمْوْتَُّن إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَِ ، وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كْتَابِهِ الْكَرِيْمِ : وَلَوْ أنَّ أهْلَ القُرَى أمَنُوْا وَاتَّقُوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضَ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Hadirin Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia
Pada pagi hari ini marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan beraneka karunia kepada kita sekalian. Anugerah berupa kesehatan, keimanan dan keislaman. Sungguh ketiga hal ini inilah yang menjadikan kita mampu mensyukuri nikmat di pagi yang indah ini dengan penuh hikmat.

Tanpa ketiganya, takkan mungkin kita dapat berkumpul di sini, bertemu muka dalam suasana penuh kebahagiaan dan kekeluargaan untuk merayakan kemenangan. Sungguh kita telah memenangkan ujian dari Allah pada bulan Ramadhan kemarin. Sungguhpun jika kita menangisi kepergian Ramadhan, namun kita tetap patut bersyukur, karena Ramadhan telah mengajarkan kita untuk mengerti dan turut merasakan setitik kesengsaraan para fuqoro dan masakin.

Saudara-saudara, Ramadhan kemarin telah mengajarkan kita untuk berbagi kebahagiaan dan dengan orang lain yang mungkin tidak seberuntung kita. Mereka yang untuk makan saja harus bersusah payah membanting tulang dan memeras keringat. Sehingga kita benar-benar merasa pilu manakala kemarin mendengarkan berita-berita yang menyayat. Hanya karena ingin mendapatkan sumbangan yang nilainya tidak seberapa bagi orang-orang kaya, ternyata mereka harus mempertaruhkan nyawa.

Kenyataan ini tentu saja menuntut kita untuk mengoreksi kembali kepedulian kita. Sudahkah selama ini kita memiliki kepedulian terhadap mereka? Jika sudah, maka pertanyaan selanjutnya adalah, cukupkah kepedulian kita selama ini untuk membantu meringankan beban hidup mereka? Jika sudah cukup, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah selama ini kita dapat meringankan beban mereka dengan ikhlas? Sampai di sini, hanya diri kita sendirilah yang dapat menjawabnya.

Ramadhan kemarin benar-benar memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Jika kita mengaku beriman dengan sebenarnya, maka kita pasti akan mengaca pada diri kita sendiri, sudahkan kita memiliki kepedulian tanpa menyengsarakan?

Betapa pun, jika keikhlasan hanya dapat kita rasakan sendiri, maka sebuah sikap tentu dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah selama ini kita dapat memberikan sedekah dengan cara-cara yang ”elegan”? Apakah cara kita memberikan sedekah tidak mengurangi harga diri mereka? Apakah setelah menerima sedekah, mereka masih memiliki sisa harga diri di hadapan kita?

Jika jawabnya adalah tidak, maka mestinya kita instrospeksi diri, benarkah Allah memerintahkan kita untuk besedekah, berzakat atau menolong orang hanyalah untuk membuatnya kehilangan jati diri? Ramadhan kemarin benar-benar perenungan nyata.

Mungkin beberapa cuplikan ayat berikut ini dapat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
إنْ تُبْدُوْا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا اْلفُقَرَاءُ فََهُوََ خَيْرٌ لَكُمْ

”Jika kamu menampakkan sedekah, maka ini juga baik. Namun jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan adalah lebih baik bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2:271)

Ayat ini menunjukkan bahwa bersedekah tanpa membuat publikasi justru lebih baik daripada kita bersedekah dengan mengundang para wartawan. Meskipun seandainya sedekah yang kita berikan memang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.

Maka jika ramadhan kemarin kita benar-benar dapat menghayati makna puasa, tentu pada Idul Fitri sekarang ini dan pada hari-hari ke depan kita dapat memperbaiki sikap kita kepada orang lain. Kita dapat lebih menghargai para hamba Allah yang lain. Bukan karena misalnya kita lebih kaya, lalu kita berhak menghina orang lain. Bukan karena kita merasa lebih kuat, lalu kita dapat menindas orang lain. Dan seterusnya.

Hadirin Sekalian yang Berbahagia
Jika kita ingin kembali pada kesucian, maka kita semestinya mampu menjadikan momen- momen Ramadhan kemarin sebagai sebuah I’tibar atau pelajaran untuk menjalani kehidupan ke depan. Jika setelah Ramadhan kita dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik secara agama dibandingkan tahun lalu, maka inilah alamat keberkahan Ramadhan. Namun jika sebaliknya, setelah Ramadhan kita justru menjadi lebih buruk dibanding sebelum Ramadhan, maka berarti keberkahan Ramadhan tidak pernah menghampiri kita.

Setelah Idul Fitri ini, kita harus mampu memberikan sedekah dan berbagi kepada orang lain tanpa mengurangkan harga diri yang kita beri. Karena demikianlah Ramadhan kemarin mengajarkan pada kita. Kita harus mampu memberi tanpa membuat harga diri orang lain jatuh.

Dahulu Nabiyullah Sulaiman, seorang raja yang kaya raya bahkan pernah kedatangan tamu yang ingin memberikan sedekah. Lebih tepatnya untuk saat ini adalah upeti atau mungkin suap. Karena si pemberi sedang memiliki kebutuhan dengan sang Nabi Sulaiman. Ini artinya sang pemberi sedekah berada dalam posisi yang lebih rendah sementara sang penerima sedekah berada dalam posisi yang lebih tinggi.

Namun demikian, sikap dan cara penyampaian dapat menjadikan sang penerima, yang semula lebih tinggi dapat mengalami penurunan derajat. Firman Allah tentang cerita Nabi Sulaiman ini diabadikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Naml ayat 36.
فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانُ قََالَ أَتُمِدُّوْنَنِ بِمَالٍ فَمَا أتَنِ أللهُ خَيْرٌ مِمَّا أتَاكُمْ بَلْ أنْتُمْ لِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُوْنَ

Ketika serombongan utusan yang disertai berbagai macam hadiah telah sampai kepada Nabi Sulaiman, maka Sulaiman berkata, ”Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”

Pertanyaan Nabi Sulaiman semacam ini tentu saja membuat kecut perasaan para utusan tersebut. Utusan dari negeri seberang ini tersadar, seolah mereka dibuat malu karena dianggap mencoba menghinakan sekelompok kaum yang diperintah oleh seorang raja kaya dan bijak dengan rasa syukur yang teramat tinggi di hadapan Allah.

Dengan demikian upaya peremehan kepada Nabi Sulaiman beserta seluruh rakyat negerinya oleh para pembesar dari negara lain pun gagal total.

Kisah ini, sungguh memberikan ilustrasi perenungan yang teramat dalam kepada kita. Betapa semestinya kita tidak mudah dihinakan oleh mereka yang datang dengan membawa segepok sedekah yang belum tentu bermanfaat secara produktif kepada kita. Dan betapa semestinya jika kita memberi sedekah, janganlah sampai merendahkan orang-orang yang akan menerima sedekah kita.

Karena yakinlah, bahwa sedekah kita sama sekali tidak berarti dibandingkan karunia yang diberikan kepada kita oleh Allah. Seberapa pun berbagi, tidaklah perlu berpamer-pamer, apatah lagi sampai merasa bangga di hadapan Allah. Karena di sinilah terdapat jebakan syetan kepada para hamba.

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah SWT
Karena itulah, pada kesempaytan yang berbahagia ini, mari kita bersama-sama menginstropeksi diri kita masing-masing. Semoga setiap kesalahan yang pernah kita lakukan pada bulan-bulan lalu dapat kita tinggalkan dan semoga segenap kebaikan yang kita tingkatkan pada bulan Ramadhan kemarin dapat kita pertahankan. Dengan demikian maka kita sedang menaiki tangga insan kamil, tangga menuju kesempurnaan kemanusiaan di hadapan Allah SWT.

Meski Ramadhan telah meninggalkan kita, namun kita harus senantiasa mampu mengekang hawa nafsu yang membawa kita menuju kehinaan dalam hidup. Sebagaimana firman Allah :
وَمَا أُبَرِّئْ نَفْسِيْ إنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ
Aku tiada melepaskan Nafsuku, karena nafsu menyuruh pada keburukan. (QS. Yusuf : 53)

Jika nafsu dapat kita kendalikan, maka mestinya kita pun akan senantiasa menjadi manusia yang pemurah dan pemaaf. Sehingga kita dapat saling memaafkan di antara sesama anak manusia, di antara sesama umat Islam dan di antara sesama saudara dan tetangga. Karena demikianlah pesan penting dalam Idul Fitri, yakni saling memaafkan agak kehidupan manusia dapat kembali berjalan dengan normal dan penuh rasa kasih sayang di antara sesamanya.

Semoga dengan kita saling memaafkan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa kita sekalian, dosa-dosa yang terdahulu maupun dosa-dosa yang akan datang. Sehingga negeri ini dapat menjadi negeri dambaan yang senantiasa diberkahi Allah, kampung-kampung dan kota-kota dapat menjadi baldatun toyyobatun wa robbun ghofuur.Selamat Idul Fitri 1429 H.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ